Negeri 5 Menara: Kisah Inspiratif Nyata yang Penuh Nostalgia
Membaca novel ini baris demi baris, halaman demi halaman membuatkan saya terkesima dengan mantera-mantera saktinya, ungkapan-ungkapan inspiratif membakar semangat dan kisah nyata yang menjadikan saya berani untuk memasang impian setinggi langit melupakan seketika kesibukan posting Oncology saya di HUKM.
Imaginasi saya tergambarkan akan Pondok Madani, jauh di sebuah desa di pelosok Jawa Timur Indonesia sesuai sebagaimana digambarkan oleh penulis, Ahmad Fuad. Sebuah pesantren/pondok yang terkenal dengan mantera saktinya ‘man jadda wajada’ membuatkan saya semakin rindu pada Maahad di bumi Kota Bharu Bandaraya Islam, sekolah yang menjadi nostalgia saya,dulu kini dan selamanya.
Pondok Modern Gontor, Jawa Timur
Seperti kata penulis “keikhlasan adalah sebuah janji suci”, membuatkan saya insaf bahwa dalam proses menuntut ilmu ini benar-benar membutuhkan hati yang ikhlas, barulah ilmu yang diperoleh itu berkat dan beroleh kejayaan. Kerna kunci itu terletak pada ‘IKHLAS’. Ikhlas itu adalah kunci kekuatan yang jauh di dasar hati. “Selamanya kita ikhlas, maka selamanya Allah akan menjadi penolong kita”
Kepada kalian yang tercari-cari buku motivasi, saya syorkan inilah bukunya biarpun ia sebentuk novel. Jangan sesekali perkecilkan sebuah novel. Kata-kata motivatif yang mengalir lembut ke dalam jiwa kalian dengan kata-kata yang membuatkan kalian tersihir. “Man sobaro, zhafiro” (siapa yang bersabar akan beruntung).
"Jangan risaukan penderitaan hari ini, jalani sahaja dan lihatlah apa yang akan terjadi pada masa hadapan. Sebab yang kita tuju bukan sekarang, tetapi ada yang lebih besar dan asas, iaitu menjadi manusia yang menemukan misinya dalam hidupnya…Carilah misi kalian masing-masing. Temukan dan semoga kalian menjadi orang yang berbahgia."
Akhirannya, saya bahkan terpesona lagi dengan kalimah “aku melihat dunia di awan-awan itu”. Maksudnya penulis yang bijaksana ini, kita memandang langit, kita bebas melukis langit mengikut apa saja yang kita impikan dalam hidup dan melontar imaginasi kita itu lepas membumbung tinggi di langit.
Melihat langit seumpama melihat segala impian kita terlukis oleh awan-awan di langit. Usah takut untuk bermimpi dan berimaginasi, bebaskan ia pergi ke mana sahaja biarpun kita sendiri masih belum pasti bagaimana cara untuk merealisasikannya.
“Kun fayakun, maka awalnya awan impian, kini hidup yang nyata. Jadi jangan pernahkan remehkan impian, walau setinggi apa pun. Tuhan sungguh Maha Mendengar”. Begitulah Ahmad Fuad mengakhiri novelnya yang penuh mutiara kata ini.
Buat teman-temanku, pengunjung blog ini, semoga kalian turut terpikat dengan nukilan Ahmad Fuad ini, bekas santri Pondok Modern Gontor yang pasti berbekas di hati. Selamat menghayati.
Kredit ‘special’ku buat sahabat akrab dari hadas nusantara, belah timur, Nurul Khairani Hamasyie http://kalamhawariyyun.blogspot.com/ kerna memperkenalkan novel ini kepadaku dan meminjamkannya dengan ikhlas. Semoga kita sama-sama berhasilan apa yang kita rancangkan.Amin.